Jumat, 27 Januari 2012

Hartojo Andangdjaja

              Hartojo Andangdjaja adalah penyair kerakyatan yang ikut serta mencetuskan Manifes Kebudayaan tahun 1963. Dia dilahirkan pada tanggal 4 Juli 1930 di kota Solo, Jawa Tengah, dan meninggal di kota yang sama pada usia 60 tahun, tepatnya tanggal 30 Agustus 1990. Pendidikan dasar dan menengah Hartojo di lingkungan sekolah-sekolah Islam Muhammadiyah Surakarta. Ketika duduk di bangku Sekolah Dasar, pada pagi hari Hartojo masuk ke sekolah umum, sementara pada sore harinya dia masuk pula ke madrasah yang khusus mengajarkan ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan agama Islam. Pendidikan terakhir Hartojo adalah dari Muallimin Muhammadiyah Solo, yang kemudian nama sekolah ini berubah menjadi Sekolah Guru Muhammadiyah Solo, sejajar dengan PGSLP (Pendidikan Guru Sekolah Lanjutan Pertama), jurusan Bahasa Indonesia, dan dia tamat dari sekolah guru itu pada tahun 1953. Pendidikan Hartojo tersendat-sendat akibat penjajahan Jepang dan Perang Revolusi Kemerdekaan Republik Indonesia
            Setamatnya dari sekolah guru di Solo, Hartojo bertugas mengajar di beberapa sekolah swasta SLTP dan SMU di Solo (1953–1956). Sambil mengajar di sekolah swasta itu Hartojo mengajukan lamaran menjadi guru pegawai negeri. Lamarannya pun akhirnya diterima dan Hartojo ditugaskan menjadi guru SLTP Negeri Pasaman, Padang, Sumatera Barat. Mengingat gaji guru terlalu kecil, sambil mengajar di SLTP Negeri itu Harojo mengajukan pula lamaran ke SMU Negeri Simpang Empat, Pasaman, Sumatera Barat, sebagai tenaga guru honorer (1957–1962). Di tempat perantauan itu Hartojo menumpang tinggal pada rumah Direktur (kepala sekolah) SLTP tempat dia mengajar yang terletak tidak jauh dari sekolahan tempatnya mengajar.
Ketika terjadi peristiwa PRRI Permesta awal tahun 1960-an di Sumatera Barat, membuat hidup Hartojo menjadi kocar-kacir. Hartojo dituduh berpihak pada republik sehingga merasa sudah tidak lagi aman tinggal di ranah Minang. Dia harus menyelamatkan diri meninggalkan tanah Minang. Tanpa sempat mengurus kepindahan tugas mengajarnya, Hartojo pun tergesa-gesa harus meninggalkan kedua sekolahan di Minang itu. Hartojo tidak langsung pulang ke Solo, melainkan memilih singgah dan bekerja di Jakarta bergabung dengan majalah Si Kuntjung. Bersama rekan-rekan seniman yang lainnya, pada tahun 1963 Hartojo ikut mencetuskan dan menandatangani Manifes Kebudayaan. Setelah terjadi pelarangan Manifes Kebudayaan pada tahun 1964, hidup Hartojo kembali terancam “diganyang” oleh Lekra-PKI yang anti-Manifes. Dia meninggalkan sumber nafkahnya Si Kuntjung dan kemudian mudik ke kampung halamannya, Tegalkembang, Laweyan, Solo. Setelah peristiwa G30S/PKI usai, barulah Hartojo kembali mendapat pekerjaan sebagai guru di STN (Sekolah Teknik Negeri) Kartasura dan SLTP Batik Solo. Penderitaan hidup Hartojo sebagai seorang guru ditulis dalam sajaknya “Dari Seorang Guru Kepada Murid-Muridnya” (dimuat dalam majalah Cerpen Tahun I Nomor 7, 1967), yang berkisah tentang kemelaratan seorang guru akibat kecilnya gaji yang diterima.
Hartojo mulai menulis sejak duduk di bangku sekolah menengah di Solo. Mula-mula tulisan Hartojo dimuat dalam majalah Pantja Raya pada akhir tahun 1940-an. Kemudian pada tahun 1950-an tulisan-tulisan Hartojo mulai menghiasi majalah-majalah lokal dan nasional, seperti Kisah, Tjitra, Seniman, Revolusi Pemuda, Madyantara, Arena, Pembangoenan, Merpati, dan Mimbar Indonesia. Tidak berhenti pada majalah-majalah itu saja, tulisan-tulisan Hartojo pun segera mengalir ke majalah Basis, Horison, Budaya Jaya, Sastra, Cerpen, Warna Sari, Tempo, Si Kuntjung, Relung Pustaka, dan beberapa surat kabar lainnya, antara lain, KAMI, Pos Minggu, Kompas, Haluan, dan Sinar Harapan.
Selain sebagai penulis puisi dan esai, Hartojo tercatat pula sebagai redaktur beberapa majalah, antara lain, Merpati (Solo, 1948), Tjitra (Solo, 1952–1954), Si Kuntjung (Jakarta, 1962–1964), Madyantara (Solo, 1974), dan Relung Pustaka (Solo, 1970-an). Ketika masih berada di Solo, Hartojo bersama D.S. Moeljanto pernah pula memimpin ruang seni dan sastra “Simposium” dalam majalah Dwiwarna (1953–1954). Selain bergerak di bidang tulis-menulis, Hartojo pun pernah mencoba bekerja di perusahaan swasta di Solo hingga tahun 1972. Karena perusahaan tempatnya bekerja itu macet, Hartojo pun berhenti bekerja di perusahaan itu tanpa mendapat pesangon. Dia kemudian pindah bekerja di perusahaan batik, namun jenis pekerjaan ini pun tidak sesuai dengan cita-cita dan harapannya. Setelah mencoba menekuni pekerjaan lain di luar bidang tulis menulis, dan semuanya tidak ada yang cocok, Hartojo sejak tahun 1976 memutuskan untuk menekuni karirnya di bidang penulisan esai dan penerjemahan. Sebagai seorang partikeliran atau swasta, beliau cukup tinggal di rumahnya, bahu-membahu dengan istrinya, sambil sesekali mengunjungi perpustakaan dan toko buku, ke kantor pos mengirimkan karya-karyanya ke berbagai majalah, surat kabar, dan penerbitan, serta mengambil wesel honororium tulisannya. Menjelang akhir hayatnya, Hartojo sering sakit-sakitan, digerogoti asma-bronchitis. Dalam kondisi yang sakit-sakitan itu dia beruntung selalu ditemani oleh istri dan kedua anaknya yang sudah menjelang dewasa, Haris Wijayanto dan Fitri Wijayanti, sampai Hartojo menghembuskan napasnya yang terkahir tahun 1990.
            Meskipun Hartojo Andangdjaja mulai menulis pada zaman Jepang, tahun 1940-an, dalam sejarah sastra Indonesia tak seorang pun memasukkan Hartojo sebagai sastrawan Angkatan 45. Ajip Rosidi dalam bukunya Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia (1969) memasukkan Hartojo sebagai penyair Angkatan Terbaru atau Angkatan 1950-an. Sementara itu, H.B. Jassin dalam buku Angkatan 66: Prosa dan Puisi (1968) memasukkan Hartojo sebagai penyair Angkatan 66. Pengelompokan seorang penulis, termasuk Hartojo, menjadi anggota atau pelopor angkatan sastra ini tidak mengikat. Itu hanya sebagai catatan sejarah dan sangat bergantung siapa yang menulis buku tersebut. 
            Selain menulis puisi, Hartojo pun mencoba menulis cerita pendek dan karya drama. Namun, dibidang genre puisilah bakat dan minatnya berkembang subur. Sebagai seorang penyair, Hartojo telah menghasilkan ratusan puisi yang tersebar dalam berbagai majalah dan surat kabar, baik lokal maupun nasional. Selain itu, beberapa puisi Hartojo pernah menghiasi beberapa buku antologi, antara lain dalam buku Simponi Puisi (Solo, 1954, antologi puisi bersama DS. Moeljanto), Manifestasi (antologi puisi bersama Taufiq Ismail, Goenawan Mohamad, dan lain-lain, 1963), Angkatan 66: Prosa dan Puisi (susunan H,B. Jassin, 1968), Laut Biru Langit Biru (susunan Ajip Rosidi, 1977), Tonggak 2: Antologi Puisi Indonesia Modern (susunan Linus Suryadi A.G., 1987), Dari Fansuri ke Handyani (susunan Taufiq Ismail dkk, 2001), dan Horison Sastra Indonesia 1 Kitab Puisi (susunan Taufiq Ismail dkk, 2002). Beberapa puisi Hartojo pun pernah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa asing dan terbit di Amerika dan Jepang. Satu-satunya buku kumpulan puisi tunggal yang dimiliki Hartojo adalah Buku Puisi (1973) yang memuat sebanyak 36 sajak dan diterbitkan oleh Dunia Pustaka Jaya atas prakarsa Ajip Rosidi.
 Hartojo pernah memenangkan hadiah dari majalah Sastra asuhan H.B. Jassin atas tulisan esainya yang bertajuk “Pola-Pola Pantun dalam Persajakan Modern” (dimuat dalam majalah Sastra Nomor 6 Tahun II, 1962, hlm. 31–34). Esai Hartojo yang sangat menarik ini kemudian dimuat pula dalam buku Sejumlah Masalah Sastra (1982) susunan Satyagraha Hoerip (Jakarta: Sinar Harapan), dan dimuat pula dalam buku Dari Sunyi ke Bunyi: Kumpulan Esai Tentang Puisi (1991) dengan pengantar Goenawan Mohamad (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti). Sebagai seorang penulis esai, Hartojo dikenal sebagai esais tentang puisi yang tangguh dan handal pada zamannya. Pengetahuannya tentang puisi cukup luas dan tidak terbatas pada puisi-puisi nasional kita. Beberapa puisi hasil dari para penyair Belanda, Italia, Inggris, Jerman, Spanyol, Perancis, Arab, India, dan Jepang dia bahas dan terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Penulisan esai puisi dan terjemahan tentang puisi-puisi dunia itu menandakan minat dan bakat Hartojo di bidang puisi sangat kuat
Hartojo memang bergulat secara terus-menerus dengan puisi-puisinya. Penetapan buku kumpulan esai Hartojo Andangdjaja Dari Sunyi Ke Bunyi sebagai pemenang buku terbaik bidang humaniora oleh Yayasan Buku Utama pada tahun 1994 menunjukkan bahwa komentar Goenawan Mohamad tersebut tidaklah berlebihan. Satu hal yang menarik dari esai-esai tersebut adalah Hartojo menceritakan sendiri tiga buah puisi terkenalnya, yaitu “Golgotha, Sebuah Pesan”, “Rakyat”, dan “Buat Saudara Kandung”, tentang proses kreatifnya menciptakan sajak-sajak tersebut. Ketiga judul esai yang pernah dimuat dalam surat kabar Sinar Harapan pada tahun 1971 dan 1972 itu sama dengan judul puisi-puisinya
Salah satu tokoh yang ikut serta mencetuskan dan menanda tangani Manifes Kebudayaan pada tahun 1963 ini juga menerjemahkan berbagai buku sastra dunia. Berbekal dengan pengetahuan dan penguasaannya berbagai bahasa asing, seperti Inggris, Belanda, Benggali, Tagalok, Jepang, dan Arab, Hartojo pun mampu menerjemahkan beberapa buku ke dalam bahasa Indonesia, antara lain:
1)      Tukang Kebun (sajak-sajak romantik Rabindranath Tagore, pujangga terbesar dari India, 1976)
2)      Kubur Terhormat bagi Pelaut (kumpulan sajak J.J. Slauerhoff, 1977)
3)      Rahasia Hati (novel Jepang karya Natsume Soseki, 1978)
4)      Musyawarah Burung-Burung (prosa liris dari Timur Tengah karya Faridu’d-Din Attar, 1983)
5)      Tokoh-Tokoh Munafik (karya pengarang Filipina, F. Sionel Jose, 1981) dan
6)      Puisi Arab Modern (beberapa puisi dari penyair Bahrain, Saudi Arabia, Aden, Irak, Suriah, Lebanon, Pakistan, Mesir, Libia, Tunisia, dan Marokko, 1984).
Buku-buku hasil terjemahan Hartojo Andangdjaja itu pada umumnya diterbitkan oleh Dunia Pustaka Jaya atas prakarsa Ajip Rosidi. Buku-buku sastra hasil terjemahan Hartojo membuka cakrawala baru dalam khazanah sastra terjemahan di Indonesia. Sambutan khalayak pembaca sastra di Indonesia pun sangat antusias dan positif dengan ditandai buku-buku tersebut dapat terbit kembali dan cetak ulang.

0 komentar:

Posting Komentar